Pak Doe, "Pahlawan Tanpa Tanda Jasa" Sungguhan...
KOMPAS.com — Bagi Ratih Dwiastuti, Pak Doe adalah sosok guru yang menjadi panutan. Menurut Pak Doe, guru adalah seorang pemimpin yang memimpin dengan karakter.
Demikian pulalah dia. Pak Doe menerapkan pendidikan berkarakter jauh sebelum slogan-slogan karakter ditempelkan di kurikulum. Pak Doe, menurut Ratih, tetap menerapkan pembelajaran aktif, inovatif, kreatif, efektif, dan menyenangkan meski dengan sederhana.
Aura kepemimpinan dan semangat mendidiknya yang tinggi ditunjukkan dengan menyentuh langsung kehidupan setiap siswanya. Ratih pun melihat bahwa menjadi guru bukan sekadar rencana pelaksanaan pembelajaran, melainkan juga karakter dan kepemimpinan dalam interaksi dengan para siswa.
Berikut catatan Ratih ketika menjadi pengajar muda di SDN 4 Langkahan, Aceh Utara. Ratih menemukan "pahlawan tanpa tanda jasa" sungguhan....
"One of The Avangers Langkahan"
Sosoknya memancarakan kesederhanaan dan wibawa yang elegan. Gaya berbicaranya santun, baik itu berbahasa aceh maupun berbahasa indonesia. Ditakuti atau lebih tepatnya disegani oleh mayoritas siswa di sekolahku. Karenanya beliau dipercaya memegang amanah bagian kesiswaan. Beliau adalah orang pertama yang hingga terminal terdekat menuju kota ketika awal-awal penempatan. Bapak Abdurrahman namanya. Pak Doe adalah panggilan akrabnya sehari-hari. Usianya sudah tidak bisa dibilang muda jika dibandingkan dengan guru lain di sekolahku. Ketika konflik sedang di puncaknya, Pak Doe menjabat sebagai geuchik (kepala desa) selama 6 tahun (1999-2005). Hingga sekarang beliau masih disegani dan dihormati oleh masyarakat. Bahkan geuchik penggantinya kerap kali berkonsultasi dengannya. Beliau sudah mulai mengajar ketika konflik. Pernah suatu kali beliau bercerita mengenai beberapa pengalamannya.
Ketika konflik sangat jarang guru yang mau mengajar mata pelajaran Bahasa Indonesia dan PPKN. Ketika itu Pak Doe memberanikan diri untuk mengajar kedua mata pelajaran tersebut di SMP Negeri 3 Langkahan (saat itu statusnya masih SMP persiapan, belum menjadi SMP negeri). Di tengah-tengah aktivitas mengajarnya, suatu kali beliau pernah disambangi oleh masyarakat yang tergabung dalam Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Beliau ditanya apakah mengajarkan Bahasa Indonesia dan pancasila atau unsur nasionalisme kepada anak didiknya. Kemudian beliau menjawabnya dengan sangat bijak dan sangat benar menurutku.
“Saya tidak mengajarkan nasionalisme. Saya mengajarkan karakter kebangsaan dan bertata negara. Kalaupun nantinya Aceh merdeka, anak-anak kita perlu tahu juga bagaimana caranya bernegara. Begitu juga dengan Bahasa Indonesia. Jangan sampai anak-anak kita hanya tahu ‘bahasa ibu’ saja. Ketika suatu hari ia merantau, maka tidak kesulitan lagi untuk berkomunikasi.”
Masyarakat GAM pun langsung memahami dan tidak terjadi masalah berkepanjangan. Menurutnya kurikulum berkarakter yang saat ini sedang in di Indonesia, sebenarnya sudah diterapkan sejak lama, hanya saja belum ada label ‘kurikulum berkarakter’.
Beliau juga pernah menjelaskan kepadaku tentang arti “pendidikan berkarakter”. Beliau menganalogikan bahwa mengajar tidak berbeda dengan memimpin. Ketika menjadi geuchik, beliau harus memahami karakter masyarakatnya. Begitu juga dengan mengajar. Beliau berusaha memahami karakter setiap siswanya sehingga bisa melakukan pendekatan dengan cara yang sesuai. Ada siswa yang harus ditindak keras, ada siswa yang harus ditindak secara halus. Selama ini para guru dibuat pusing dengan kurikulum yang berubah-ubah dan berlabel ‘berkarakter’. Tanpa ada label pun, Pak Doe sudah menerapkannya. Bahkan tanpa RPP, tanpa peraturan resmi dari pemerintah, beliau sudah menerapkannya.
Soal kreativitas pun tidak diragukan lagi. PAIKEM yang sedang gencar-gencarmya dikampanyekan, beliau pun menerapkannya. Berikut beberapa contoh dari penerapan PAIKEM di kelasnya.
Gambar tersebut merupakan hasil karya siswa di kelasnya untuk mata pelajaran IPA mengenai gaya dan faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan bunyi. Pernah juga beliau meminta siswanya untuk membuat simulasi alat peraga lain namun aku tidak sempat mendokumentasikannya, atnara lain miniatur parasut menggunakan kantong plastik hitam, benang, dan tali. Lagu-lagu pun kerap kali beliau ajarkan kepada anak didiknya.
Semangat mendidiknya tinggi. Beliau pernah pula bercerita mengenai pengalaman mendidiknya. Ketika belum memiliki sepeda motor, beliau mengayuh sepeda sejauh 3 KM di jalan berbatu untuk mengajar. Sehingga jika ada guru yang mengeluhkan jarak sekarang, beliau pun bisa menjawab, karena mayoritas guru sekarang sudah bermotor. Ketika sudah memiliki motor, beliau pernah menyambangi siswa yang tidak mau ikut ujian nasional. Rumah siswa tersebut bukan lagi di desa tempat sekolahku berada. Rumah siswa tersebut sudah pindah ke Aceh Timur (sekitar 30 KM dari rumah beliau). Beliau meyakinkan orang tuanya dan siswanya bahwa dengan mengikuti ujian nasional, itu sudah membuka celah untuk masa depan siswa tersebut dan keluarganya.Setelah beberapa kali dibujuk, akhirnya orang tua siswa menizinkan untuk tinggal sementara di rumah guru yang letaknya satu desa dengan sekolah dan mau mengikuti ujian nasional.
Aku simpulkan bahwa konsep teacher menurut Pak Doe adalah a leader who lead with character. Menerapkan pendidkan berkarakter, PAIKEM, serta memiliki aura kepemimpinan yang baik, membuat dirinya guru ideal di mataku. Beliau bukan PNS yang berpangkat paling tinggi, tetapi beliau selalu bersedia untuk mendidik siswa. Mulai dari mengajar di kelas, pembinaan, hingga mendampingi siswa ketika mengikuti olimpiade. Kualitas guru Indonesia tidak bisa dipukul rata ‘jelek’ atau ‘bagus’. Masih banyak sosok Pak Doe lainnya di negeri ini. Layaknya para superhero dalam The Avangers, para pahlawan tanpa tanda jasa ini pun tersebar dimana-mana, tanpa terlihat oleh masyarakat umum.
Source: http://edukasi.kompas.com/read/2013/06/03/18342110/Pak.Doe..Pahlawan.Tanpa.Tanda.Jasa.Sungguhan...
0 comments:
Post a Comment